Setiap kali kita merayakan Idul Adha, kita kembali diajak untuk flash back kepada kisah perjalanan hidup seorang kekasih Allah, nabiyullah Ibrahim Alaihissalam. Momentum sejarah yang melatarbelakangi hari raya Idul Adha merupakan episode dari perjalanan kehidupan sang kekasih Allah itu. Pada saat itu beliau bermimpi mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih putranya, Ismail Alaihissalam. Putra yang sangat disayanginya dan menjadi harapannya yang diperoleh setelah penantian panjang. Begitu berat rasanya bagi nabi Ibrahim untuk melaksanakan perintah ini namun keimanan dan kecintaannya kepada Allah mampu mengalahkan perasaan cintanya terhadap anaknya. Nabi Ibrahim pun dengan ikhlas berusaha melaksanakan perintah tersebut terlebih lagi Ismail pun menyambut hangat dengan kesabaran dan kerelaannya turut melaksanakan perintah itu. Hingga akhirnya kemudian Allah mengirimkan domba untuk menggantikan posisi Ismail.
Momen indah yang diabadikan lewat hari raya Idul Adha ini memiliki hikmah yang mendalam mengenai makna cinta sejati bagi manusia. Cinta dan kehidupan adalah dua hal yang tak terpisahkan karena cinta merupakan anugerah kehidupan dari sang pemilik cinta, Ar-Rahman. Cinta berkembang seiring berjalannya kehidupan dan menjadi motivasi bagi manusia dalam menjalani kehidupan. Itulah sunnatullah dan fitrah yang ditetapkan bagi manusia. Setiap manusia memiliki kencintaan terhadap dunia, berupa harta, wanita, anak-anak dan berbagai atribut keduniaan lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran :14).
Telah kita ketahui bahwa kehidupan di dunia hanya sementara bahkan digambarkan di dalam Al Qur'an sebagai permainan belaka. Lihatlah ungkapan Imam Hasal Al Bashri tentang dunia : “Dunia seakan menjelma menjadi permaisuri impian. Tatapan mata tertuju kepadanya, jiwa gandrung terhadapnya, hati takluk dan bertekuk lutut dihadapannya. Padahal, dunia akan menikam dan membunuh siapapun yang mempersuntingnya.”
Maka cinta sejati tentunya bukanlah terletak pada kecintaan kepada dunia yang sifatnya semu dan sementara melainkan terletak pada kecintaan kepada Allah, sang pemilik cinta. Dari-Nya cinta berawal, terus tercurah dan tak ternilai jumlahnya. Cinta yang tak pernah berujung hingga pada kebahagiaan yang abadi di akhirat. Sebagaimana kenikmatan tertinggi di syurga kelak di kala peduduknya diperkenankan bertemu dan menatap Allah secara langsung.
Cinta pada dunia sejatinya merupakan sarana untuk menggapai cinta Allah, cinta yang sejati. Menggapai cinta Allah bukanlah mengabaikan kecintaan kepada dunia karena itu adalah fitrah manusia. Maka nabi dan rasul pun seperti manusia lainnya, menikahi wanita,memiliki keturunan, dan mencari nafkah keluarga bagi mereka. Akan tetapi kecintaan kepada dunia bukanlah segala-galanya bagi mereka karena cinta yang sejati adalah cinta kepada Rabbnya. Mereka jadikan kecintaan kepada dunia sebagai sarana untuk menghambakan diri secara total kepada Allah yang merupakan bukti kesungguhan mereka dalam menggapai cinta Allah.
Sejarah telah mencatat kisah para pendamba cinta sejati dari Allah. Sepanjang hidup, mereka senantiasa menghambakan diri kepada Allah yang merupakan wujud cinta mereka kepada Allah, Telah tercatat pula kisah para pecinta dunia termasuk para penentang nabi dan rasul yang kecintaannya kepada dunia sangat berlebihan bahkan menuhankan dunia. Maka kita pun sama-sama menyaksikan bagaimana kehidupan mereka berujung. Para pecinta dunia tak mendapat sesuatu apa pun bahkan berujung kesengsaraan sementara orang-orang yang senantiasa mendambakan cinta dari Allah akan mendapatkan cinta sejati yang berujung pada kebahagiaan abadi.
0 comments:
Post a Comment